Senin, 07 September 2015

METODA EMPIRIK DALAM RANCANGAN TEROWONGAN



7.  METODA EMPIRIK DALAM
     RANCANGAN TEROWONGAN



Metoda empirik dalam rancangan terowongan dilakukan dengan pendekatan klasifikasi massa batuan. Hal ini telah dipakai dibeberapa kasus terowongan seperti di Terowongan PLTA  Cirata Jawa Barat, Terowongan PLTA Singkarak Sumatera Barat dan Terowongan PLTA di Renun Sidikalang Sumatera utara.
7.1. TUJUAN DAN MANFAAT KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Klasifikasi massa batuan merupakan cikal bakal dari pendekatan metode empiris dan digunakan secara luas di dalam rekayasa batuan. Klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti untuk rancangan rekayasa. Tetapi harus digunakan digunakan bersama-sama dengan metode analitik dan observasi untuk memformulasikan secara menyeluruh rancangan lubang bukaan yang rasional, sesuai dengan tujuan rancangan dan kondisi geologi lapangan.
Klasifikasi massa batuan bertujuan :
1.      Mengindentifikasi parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa batuan.
2.      Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam group yang mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas.
3.      Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan.
4.      Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain.
5.      Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design).
6.      Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sistem klasifikasi harus :
1.      Sederhana, mudah diingat dan mudah dimengerti.
2.      Setiap istilah jelas dan terminologi yang digunakan dapat diterima secara luas oleh enjinir dan geologis.
3.      Sifat-sifat massa batuan yang paling signifikansi diikut sertakan.
4.      Berdasarkan parameter yang dapat diukur dengan uji yang cepat, relevan serta murah di lapangan.
5.      Berdasarkan sistem rating yang dapat memberikan bobot yang penting pada parameter klasifikasi.
6.      Dapat berfungsi untuk menyediakan data-data kuantitatif untuk rancangan penyangga batuan.
Adapun manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari klasifikasi massa batuan adalah :
1.      Meningkatkan kualitas dari penyelidikan lapangan (site invertigation) dengan meminta data masukan yang minimum sebagai parameter klasifikasi.
2.      Memberikan informasi kuantitatif untuk tujuan rancangan terowongan.
3.      Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi dapat lebih efektif pada suatu proyek.
7.2.  SEJARAH DAN SISTEM-SISTEM KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Kebanyakan lubang bukaan (terowongan) sekarang dibangun berdasarkan beberapa sistem klasifikasi massa batuan. Seperti yang banyak digunakan dan yang paling baik diketahui adalah klasifikasi beban batuan Terzaghi. Klasifikasi ini sudah diperkenalkan lebih dari 40 tahun yang lalu (Terzaghi, 1946).
Tahun 1970 klasifikasi Terzaghi dimodifikasi Deere dan kawan-kawan dan membuat klasifikasi sistem baru. Sistem klasifikasi ini memperkenalkan teknologi penyangga batuan yang diberi nama “rock bolt” dan “shorcrete”, yang digunakan diberbagai proyek, seperti di terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng dan Pondasi.
Saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi massa batuan dan aspek penerapannya, yaitu :
1.       Rock Load (Terzaghi, USA 1946), untuk penerowongan dengan memperkirakan  beban batuan yang disangga dengan penyangga baja (sekarang dipakai hanya sebagai topik bahasan teoritis saja).
2.       Stand-up time (Lauffer, Austria, 1958), untuk  penerowongan. Klasifikasi ini didasarkan hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah maju dalam seni penerowongan dengan memperkenalkan “stand-up time” dari “active span”. Dimana dapat ditentukan tipe dan jumlah penyangga di dalam terowongan secara relevan.
3.       New Austrian Tunneling Method (NATM, Pacher dan kawan-kawan, Austria, 1964), untuk penerowongan. Metode NATM merupakan pendekatan saintifik empirik, yang melibatkan pengalaman praktek yang disebut “emperical dimesioning” (Rabcewicz, 1964). Ini merupakan dasar teoritis yang melibatkan hubungan antara tegangan dan deformasi di sekeliling terowongan (lebih dikenal dengan konsep ground-reaction). Pada awalnya ini merupakan dasar teoritis yang diberikan oleh Fenne dan Kastner. Kemudian metode ini dikembangkan dengan menggunakan instrumen in-situ dan pemantauan yang canggih dan menginterpretasikan pengukuran secara saintifik.
4.       Rock Quality Designation (RQD, Deere dan kawan-kawan, USA, 1967), untuk “core logging” dan penerowongan. RQD adalah modifikasi dari persentase dari perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatrif yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi daerah batuan dan kualitasnya, sehingga dapat diputuskan untuk menambah pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.
5.       Rock Structure Rating (RSR, Wickman dan kawan-kawan, USA, 1972), untuk penerowongan. Konsep RSR memandang dua parameter umum dari faktor yang mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan yaitu parameter geologi dan parameter konstruksi.
6.       Rock Massa Rating System (RMR-System, Bieniawski, Afrika Selatan, 1973), untuk penerowongan, tambang, lereng dan pondasi. RMR-System menggunakan enam parameter untuk menilai kualitas massa batuan yaitu kuat tekan batuan, RQD, jarak bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontnuitas, kondisi air tanah dan orientasi bidang diskontnuitas.
7.       Q-System (Barton, Lien, Lunde, Norway, 1974), untuk penerowongan dan ruang bawah tanah. Klasifikasi ini juga menggunakan 6 parameter untuk penilaian numerik kualitas massa batuan, yaitu RQD, jumlah set kekar, jumlah set “roughness”, derajat alternasi, aliran airtanah dan kondisi tegangan.
8.       Rock Massa Index (Palmstrom, Norway, 1995), untuk “rock engineering”, evaluasi penyangga, masukan dalam mekanika batuan. Dalam system ini juga  memasukkan parameter kuat tekan uniaksial material batuan dan set kekar (bidang diskontinuitas).
7.3. APLIKASI KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Hampir semua sistem kalsifikasi massa batuan oleh para penyusunnya ditujukan untuk dapat diterapkan dalam proyek terowongan. Hal ini memang dapat dimengerti, karena suatu kajian kelayakan dan rancangan terowongan dalam batuan memang memerlukan penyelidikan yang lama dan mahal.
Banyak studi kasus yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah maupun textbook membahas mengenai aplikasi sistem klasifikasi massa batuan pada banyak proyek terowongan di beberapa negara, seperti di India, Norwegia, Korea dan Jepang.
Sistem RMR diketahui banyak diterapkan diberbagai proyek terowongan dan bukan terowongan (Pondasi, lereng dan tambang), tetapi yang paling banyak ialah proyek terowongan.
Sementara itu Hoek dan Brown (1980) mengusulkan suatu metode untuk estimasi kekuatan massa batuan menggunakan Sistem RMR. Modifikasi Sistem RMR  banyak dilakukan, diantaranya oleh Unal (1983) untuk analisis stabilitas batuan atap di tambang batubara bawah tanah. Lauffer (1988) merevisi diagram dengan stand-up time khusus untuk penggalian dengan mesin bor terowongan (Tunnel Bor Machine, TBM). Nicholson dan Bieniawski (1986) mengusulkan Sistem RMR untuk menentukan hubungan konstitutif massa batuan. Di tambang batubara bawah tanah, Sistem RMR dipakai untuk memperkirakan kekuatan pilar batubara (Trueman dan kawan-kawan 1992).
Di Indonesia sendiri sistem klasifikasi massa batuan ini sebenarnya telah diterapkan sejak sekitar Tahun 1985 di proyek terowongan PLTA Cirata. Sejak itu sistem klasifikasi massa batuan mulai banyak diterapkan di Indonesia.
Di lapangan sistem klasifikasi massa batuan mampu menjadi alat komunikasi yang efektif antara sesama pekerja proyek, mulai dari tingkat drill master, blasting master, foreman dan supervisor. Misalnya setiap perubahan jenis batuan berarti terjadi perubahan kelas dan arti massa batuan. Dengan mudah dapat dimengerti oleh pekerja bahwa jenis penyangga dan penguatan mungkin ada perubahan. Blasting master juga akan segera mengerti bahwa setiap perubahan kelas dan arti massa batuan akan merubah pola pemboran, pola peledakan dan jumlah dan muatan bahan peledak yang harus diisikan.
7.4.  BEBERAPA PERSOALAN DALAM KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Dalam penerapan sistem klasifikasi massa batuan, ditemukan keterbatasan dan persoalan, antara lain yang berkaitan dengan ketersediaan data geoteknik.  Dari segi keluaran, ada kritik bahwa klasifikasi massa batuan tidak membahas fenomena tegangan di sekitar terowongan, dan tidak diketahui perilaku rheologi massa batuan yang sesungguhnya.
Persiapan penerapan sistem klasifikasi massa batuan telah dimulai sejak tahap penyelidikan geoteknik. Sayangnya dalam beberapa implementasi proyek terowongan dan penggalian lereng, kerap kali dijumpai persoalan klasik yang berkaitan dengan tidak tersedianya data struktur geologi yang memadai. Keadaan ini akan mengakibatkan persoalan serius, karena kurangnya data karakteristik massa batuan. Padahal seperti diketahui bersama, karakteristik massa batuan adalah tahapan terpenting dalam suatu rancangan rekayasa batuan, karena merupakan dasar utama perhitungan dalam rancangan terowongan.
Maka penentuan parameter masukan yang diperoleh pada tahap penyelidikan geoteknik sudah seharusnya menjadi perhatian utama baik ahli geologi teknik, geoteknik/geomekanika maupun perancang terowongan.
Persoalan penyelidikan memang menyangkut banyak aspek  dan kepentingan, baik dari segi rekayasa ketersediaan sumberdaya manusia yang terampil dan berpengalaman luas, kendala lapangan yang sulit, dan dana yang tersedia.
Dilain pihak persoalan yang sangat berarti adalah fenomena tegang terinduksi akibat penggalian terowongan. Hal ini hanya dapat dikaji melalui permodelan numerik. Kajian ini memang sangat penting untuk mengetahui kondisi tegangan dan perilaku deformasi massa batuan di sekitar terowongan.
Untuk mengakomodir persoalan-persoalan di atas, seperti pengadaan data struktur geologi dan induksi tegangan di sekitar terowongan, maka perlu dibahas dari berbagai aspek teknik. Sehingga sistem klasifikasi massa batuan memang harus diterapkan secara bersama-sama dengan metode rancangan analitik termasuk permodelan numerik dan jika perlu dilakukan lagi dengan metode observasi.
7.5. KLASIFIKASI SSTEM-RMR

Untuk saat ini, sistem klasifikasi yang sering dipakai dalam praktek ialah Rock Massa Rating System (RMR-System) yang diusulkan oleh Bieniawski (Afrika Selatan, 1973, direvisi 1979).

Di Indonesia, Sistem RMR telah mulai diterapkan di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Cirata (1985) dan proyek PLTA Tulis Banjarnegara, terutama pada tahap penggalian “headrace tunnel.  Dan Tambang emas di Pongkor Jawa Barat.

7.5.1. PARAMETER - PARAMETER SISTEM RMR

Sistem RMR menggunakan enam parameter yaitu :

1)      Kuat tekan Uniaksial Batuan
2)      Rock Quality Designatioan (RQD).
3)      Jarak bidang diskontinuitas (Spacing of discontinuities).
4)      Kondisi bidang diskontinuitas (Condition  of discontinuities).
5)      Kondisi Aistanah (Groundwater conditions).
6)      Orientation bidang diskontinuitas.
1). Kuat Tekan Uniaksial Batuan
Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah (uniaksial) dengan luas perconto A dan panjang perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan (Gambar.7.1). Dengan perolehan data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (sc), modulus elastistas (E) dan Poisson Ratio (u).
Jika data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “Standard Index Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 7.1)

 


Text Box: sc


 










Gambar 7.1. Kurva Tegangan – Regangan Hasil Uji UCS
Tabel 7.1. Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
Kode
Diskripsi
Uji Lapangan
UCS
(MPa)
Index Point Load
(MPa)
0
Sangat lemah
Bisa ditekan dengan paku
0,25 – 1,0
-
1
Lemah
Hancur bila dipukul dengan
Palu/dapat digores dengan
pisau
5 – 25
-
2
Sedang
Tidak dapat digores dengan
pisau
25 – 50
<1
3
Kuat
Dapat hancur dengan
Memukul lebih dari satu kali
50 – 100
2 – 4
5
Sangat kuat
Dapat hancur dengan
Memukul berkali-kali
100 – 250
4 – 10
6
Sangat kuat
sekali
Sulit pecah dipukul dengan
palu
>250
>10
Kemudian Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 7.2.
Tabel 7.2. Klasifikasi Teknis Batuan Utuh (Deere, 1968).
Kekuatan Pemeraian
UCS (MPa)
Batuan
Sangat Lemah
1 - 25
Kalk, Batugaram
Lemah
25 - 50
Batubara, Batulanau, Sekis
Sedang
50 - 100
Batupasir, Sabak, Serpih
Kuat
100 - 200
Marmer, Granit, Genis
Sangat kuat
>200
Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt

2). Rock Quality Designation (RQD)
Rock Quality Designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase perolehan core yang lebih besar dari 10 cm dibagi panjang lubang bor (Gambar 7.2). Yang dapat dituliskan sebagai berikut.
                        Panjang Core > 10 cm
RQD =                                                                        x 100 %
                 Panjang total core (lubang bor)

Untuk menentukan RQD, International Society for Rock Mechanics (ISRM) merekomedasikan ukuran inti paling kecil dengan berdiameter NX (diameter 54,7 mm) yang dibor dengan alat bot tabung ganda (double tube corel barrels).
Hubungan antara indeks RQD dan kualitas teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968).
Tabel 7.3. Hubungan Indeks RQD dengan Kualitas  Batuan
RQD (%)
Kualitas Batuan
< 25
25 – 50
50 – 75
75 – 90
90 – 100
Sangat jelek (very poor)
Jelek (poor)
Sedang (Fair)
Baik (Good)
Sangat baik (execellent)














Gambar 7.2. Prosedur Untuk Pengukur dan Perhitungan RQD (Deere, 1899)
3). Jarak Bidang Diskontinuitas
Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang lemah yang mungkin berupa kekar, sesar, bidang perlapisan dan perlipatan atau bidang-bidang lainya yang tidak menerus dalam massa batuan.
Suatu rekahan atau kekar yang paralel disebut set, dan set-set yang saling berpotongan disebut “joint set system”. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang kekar (spacing of diskontinuities). Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara pengukuran jarak diskontuitas dapat dilihat pada gambar 6.3. yang menunjukkan idealisasi pengukuran jarak kekar secara normal. Dimana jarak masing-masing kekar ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34  dan seterusnya, yang diukur pada scan line AB.






 













Gambar 7.3.
(a)    Jarak Bidang Kekar dan
(b) Pengukuran Jarak Bidang Kekar di Lapangan.
Sedangkan arah strike/dip kekar yang dijumpai di lapangan tidak  semudah yang ditunjukkan oleh gambar 6.3(a), sehingga scan line AB tidak memungkin untuk dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka dilakukan pengukuran dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 7.3b), kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
            cos q  = êcos(an-as) cos bn cos bs + sin bn sin bs ê
Dimana :
            as    = arah dip scan line
            ad    = arah dip kekar
            bs    = dip garis scan line
            bd    = dip kekar
            bn    = 90 - bd
            ad    £ 180o       maka    an = ad + 180  
            ad    > 180o       maka    an = ad - 180   
Panjang minimum “scan-line” untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang ”scan line” cukup sekitar 10 kali saja, tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak diskontinuitas dan keterangannya menurut Attewell (1993) dan Deere (1968) dapat dilihat pada Tabel 7.4. dan Tabel 7.5.
Jarak bidang diskontinuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang saling berpotongan membuat massa batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah kekuatan batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.
Tabel 7.4. Klasifikasi Jarak kekar Menurut Attewell (1993).
Diskripsi
Struktur Bidang Diskontinuitas
Jarak (mm)
Sangat lebar
Lebar dan luas
Lebar sedang
Dekat
Sangat dekat



Sangat dekat sekali
Perlapisan sangat tebal
Perlapisan tebal
Perlapisan sedang
Perlapisan tipis
Perlapisan sangat tipis
Sangat berlapis
Perlaisan tipis (Batuan Metamorf & Beku)
Berfoliasi, belahan aliran perlapisan, dll

Perlapisan tipis (sedimen)
Sangat berfoliasi, belahan aliran
Perlapisan, dll (Batuan metamorf & Beku)
> 2000
600 – 2000
200 – 600
60 – 200
20 – 60
6 – 20
6 – 20
6 – 20
< 20
< 6
< 6



Tabel 7.5. Klasifikasi Jarak kekar Menurut Deere (1968).
Diskripsi
Struktur Bidang Diskontinuitas
Jarak (mm)
Sangat lebar
Lebar
Cukup dekat
Dekat
Sangat rapat
Padat
Masif
Blooky/seamy
Terpecah
Hancur dan tersebar
> 3000
1000 – 3000
300 – 1000
50 – 300
< 50

4). Kondisi Bidang Diskontnuitas
Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness), regangan (separation),  pelapukan batuan samping dan material pengisi.
Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling mengunci dan menempel akan mempertinggi kuat geser.  Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.
Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan horizontal sama (Gambar  7.4)
Dengan istilah diskripsi sebagai berikut.
-          Sangat kasar (very rough surfaces) ; terdapat banyak gelombang yang sangat berdekatan pada permukaan kekar.
-          Kasar (rough surfaces) ; terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan permukaan kekar terasa sangat abrasif.
-          Sedikit kasar (slightly rough surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
-          Halus (smooth surfaces) ; permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
-          Polesan (slickensided surfaces) ; terlihat seperti dipoles (digosok).



 














Gambar 7.4. Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM, 1981)
Rengangan (Separation)
Separasi adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari kekar yang terbuka (Gambar 7.5). Kekar yang terisi oleh material lain (misalnya clay) dapat digolongkan sebagai separasi, jika material pengisinya telah tercuci (hilang) secara lokal. Seperasi dapat dikatakan kecil, jika kekasaran didnding kekar cenderung menjadi terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kuat geser kekar tegantung pada tingkat separasi, ada tidaknya material pengisi, kekasaran permukaan kekar dan sifat material pengisi.







 





 
 
 

 





Gambar 7.5. Ilustrasi Pengertian Separasi

Pelapukan Batuan Samping

Seringkali massa batuan di sisi bidang diskontinuitas mengalami pelapukan dan kadang teralterasi oleh proses hidrotermal. Derajat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai berikut.
-          Tidak lapuk (unweathered / fresh) ; tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya tampak jelas, walaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.
-          Sedikit  terlapukkan (slightly weathered) ; pelapukan terdapat pada kekar-kekar terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
-          Terlapukkan sedang (moderately weathered) ; perubahan warna mencapai bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan penyemenan yang jelek).
-          Sangat terlapukkan (highly weathered) ; pelapukan mencapai semua bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali hanya dengan palu geologi).
-          Terlapukkan sempurna (completely weathered) ; massa batuan secara keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh, hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).

Material Pengisi

Material pengisi kekar antara lain kalsit, klorit, clay, lanau, kwarsa dan lain sebagainya. Jika kekar terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan kemenerusannya. Material pengisi kekar sangat mempengaruhi kekuatan massa batuan, karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar bidang kekar.
5). Kondisi Airtanah
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran airtanah dalam liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet), menetes (dripping) dan mengalir (flowing).
6). Orientasi Bidang Diskontinuitas
Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut yang dibentuk antara bidang horizobtal dengan bidang kekar searah dengan bidang kemiringan.
Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah sumbu aksis terowongan, sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.
7.5.2. PROSEDUR KLASIFIKASI SISTEM RMR
Ada enam langkah dalam menggunakan Sistem RMR :
1.      Menghitung bobot (rating) total dalam tabel 7.6. Sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS, RQD, jarak diskontinuitas, kondisi diskontinuitas dan kondisi airtanah.
2.      Menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas seperti yang ditunjukkan pada tabel 7.7.
3.      Setelah menentukan kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-bidang diskontinuitas, maka ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 7.8. Langkah ini disebut juga sebagai penyesuaian rating (rating adjustment).
4.      Menjumlahkan rating yang didapat dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari langlah tiga, sehingga diperoleh total rating sesudah pennyesuaian. Dari rating ini dapat diketahui kelas massa batuan berdasarkan tabel 7.9.
5.      Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diketahui arti klas massa batuan dengan memperoleh nilai stand-up time dari massa batuan tersebut dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalam-nya seperti yang diperlihatkan oleh tabel 7.10.
6.      Berdasarkan klasifikasi Geomekanika ini, Bieniawski memberikan petunjuk untuk penggalian dan penyangga terowongan batuan dalam hubungan dengan sistem RMR (Tabel. 7.11). Petunjuk ini hanya berlaku untuk terowongan dibatuan dengan lebar 10 m, berbentuk tapal kuda, tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan pemboran dan peledakan.












Tabel 7.6. Parameter Klasifikasi dan Pembobotan


Parameter
Selang Nilai
1
Kuat
Tekan
Batuan
Utuh
PLI (MPa)
> 10
4 - 10
2 – 4
1 - 2
Untuk nilai yang kecil di pakai hasil UCS
UCS
(MPa)
> 250
100 – 200
50 – 100
25 – 50
5-25
1-5
<1
Pembobotan
15
12
7
4
2
1
0
2
RQD (%)
90 – 100
75 – 90
50 – 75
25 - 50
25
Pembobotan
20
17
13
8
3
3
Jarak Diskontinuitas
> 2 m
0,6 – 2 m
200 - 600 mm
60 – 200 mm
< 60 mm
Pembobotan
20
15
10
8
5
4
Kondisi
Diskontinuitas
Permukaan sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang, tidak lapuk
Agak kasar, separasi  < 1 mm, agak lapuk
Agak kasar, separasi   < 1 mm, sangat lapuk
Slikensided/gouge < 5 mm, atau separasi    1 – 5 mm, menerus
Gouge lunak > 5 mm, atau separasi > 5 mm, menerus
Pembobotan
30
25
20
10
0
5
Airtanah
Aliran /
10 m panjang tunnel (L/min)
Tidak ada
< 10
10 – 25
25 – 125
> 125
Tekanan pori dibagi tegangan utama
0
< 0,1
0,1 – 0,2
0,2 – 0,5
> 0,5
Keadaan Umum
Kering
Lembab
Basah
Menetes
Mengalir
Pembobotan
15
10
7
4
0













Tabel 7.7. Efek Jurus/kemiringan Diskontinuitas di dalam Penerowongan


Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan
Arah jurus
sejajar sumbu
terowongan
Mengabaikan
Jurus
Maju Searah Kemeringan
Maju Melawan Kemiringan
Dip
45o – 90o
Dip
20o – 45o
Dip
45o – 90o
Dip
20o – 45o
Dip
45o – 90o
Dip
20o – 45o
Dip
0o – 20o
Sangat Mengun-tungkan
Mengun- tungkan
Sedang
Tidak Mengun- tungkan
Sangat tidak Mengun-tungkan
Sedang
Sedang


Tabel 7.8. Penyesuaian Pembobotan Orientasi Bidang Diskontinuitas

Jurus dan Kemiringan
Orientasi Diskontinuitas
Sangat
Mengun-tugkan
Mengun-
tungkan
Sedang
Tidak
Mengun- tungkan
Sangat tidak
Menguntungkan
Pembobotan
Terowongan
0
-2
-5
-10
-12
Pondasi
0
-2
-7
-15
-25
Lereng
0
-5
-25
-50
-60


Tabel 7.9. Kelas Massa Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total

Pembobotan
100 – 81
80 – 61
60 – 41
40 - 21
< 20
No. Kelas
I
II
III
IV
V
Diskripsi
Sangat
baik
Baik
Sedang
Jelek
Sangat Jelek


Tabel 7.10. Arti Kelas Massa Batuan

No. Kelas
I
II
III
IV
V
Stand-up time
Rata-rata
20 Tahun untuk span 15 m
6 Bulan untuk span 8 m
1 Minggu untuk span
5 m
10 jam untuk span 2,5 m
30 Menit untuk span 1 m
Kohesi Massa Batuan (Kpa)
> 400
300 – 400
200 – 300
100 – 200
< 100
Sudut Geser Dalam Massa Batuan (derajat)
> 45
35 – 45
25 – 35
15 – 25
< 15

Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi geomekanikan seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Hubungan ini sangat penting sekali diketahui pada saat penggalian terowongan.






Gambar 7.6. Hubungan Antara Stand-up time dengan Span
Untuk Berbagai Kelas Massa Batuan
Tabel 7.11. Petunjuk Untuk Penggalian dan Penyangga Terowongan Batuan
Dengan Klasifikasi Sistem RMR

KELAS
MASSA
BATUAN
PENGGALIAN
PENYANGGAAN
ROCK BOLT (20 mm Dia, Fully Grouted)
SHOTCRETE
STEEL SETS
Batuan Sangat Baik (Kelas I)
RMR 81 - 100
Full Face, dengan
Kemajuan  3 m
Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya pengukuran dilakukan untuk memakai “spot bolting”
Batuan Baik
(Kelas II)
RMR 61 - 80
Full Face, dengan kemajuan 1 – 1,5 m penyangga komplet 20 m dari face
Lokalisasi, bolts pada atap sepanjang 3 m adakalanya dengan wire mesh
50 mm di atap
Tidak ada
Batuan Sedang
(Kelas III)
RMR 41 – 60
Top heading dan bench, dengan kemajuan 1,5 – 3 m.
Penyanggan dimulai setelah peledakan dan 10 m dari face.
Bolt Sistematis panjang 4 m dengan spasi
1,5 – 2  m di atap dan di dinding. Pada atap dibuat dengan wire mesh.
50 – 100 mm di atap dan 30 mm di dinding (sides).
Tidak ada
Bantuan jelek
(Kelas IV)
RMR 21 – 40
Top heading dan bench, dengan kemajuan 1 – 1,5 di top heading. Lakukan penyanggaan setiap 10 m penggalian dari face.
Bolt sistematis panjang 4 – 5 m dengan spasi
1 – 1,5 m di atap dan di dinding dengan wire mesh.
100 – 150 mm di atap dan 100 mm di dinding (sides)
Ribs ringan – sedang dengan spasi 1,5 m
Batuan Sangat Jelek
(Kelas V)
RMR < 20
Multiple drifts dengan kemajuan 0,5 – 1,5 m di top heading. Buat penyangga setiap penggalian.
Shotcrete d segera dipasang setelah peledakan.
Bolt sistematis panjang 5 – 6 m dengan spasi
1 – 1,5 m di atap dan di dinding dengan wire mesh. Buat Bolt di lantai (invert)
150 – 200 mm di atap, 150 mm di dinding (sides), dan 50 mm pada face
Rib sedang – berat dengan spasi 0,75 m dengan steel lagging dan forepoling.
6.5.3. KASUS
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat akan mengkonstruksi drift footwall 700 Ciurug. Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat  dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang drift  90 m dengan geometri lubang bukaan   3 m x 3 m dengan data pada tabel berikut ini.

Tabel 7.12. Data Massa Batuan dan Kondisi Geologi Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat

NO
URAIAN
ZONA I
ZONA II
ZONA III

1.
2.
3.

4.

5.
6.




7.

8.

Panjang drift
Jenis batuan
Kuat Tekan batuan utuh (UCS)
Kualitas Inti Batuan (RQD)
Spasi Rekahan
Kondisi Rekahan




Kondisi Airtanah

Orientasi Rakahan

40 m
Tufa breksi
36 MPa

85,75 %

150 mm
Menerus, agak kasar, renggang, < 1 mm dan lapuk


Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum N 289o E/20o

11 m
Andesit
72 MPa

92,2 %

400 mm
Sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang dan tidak lapuk

Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum N 335o E/25o

39 m
Tufa breksi
36 MPa

67,7 %

300 mm
Agak kasar, renggang < 1 mm dan lapuk


Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum N346oE/22o


Dari Tabel 7.12 terlihat bahwa dilakukan pembagian zona di sepanjang 90 m drift. Pembagian zona ini berdasarkan perubahan jenis batuan yakni zona I batuan tufa breksi, zona II batuan andesit dan Zona III dijumpai kembali batuan tufa breksi. Dari ketiga zona ini akan dilakukan pembagian kelas dan arti massa batuan. untuk merekomendasikan penyanggaan. Dengan perubahan jenis batuan tersebut tentunya akan berubah kelas dan arti massa batuan. Maka rekomendasi penyanggaan yang dibutuhkan juga tidak akan sama pada  masing-masing zona. Sehingga dapat memberikan kontribusi nilai ekonomis dengan tidak mengabaikan aspek stabilitas terowongan. Untuk masing-masing zona akan di analisis sebagai berikut.

Zona I
Zona  I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan  berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.13)

Tabel 7.13. Pembobotan Data-Data Zona I
NO
URAIAN
ZONA I
PEMBOBOTAN
SISTEM RMR

1.


2.


3.

4.



5.

6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS)

Kualitas Inti Batuan (RQD)

Spasi Rekahan

Kondisi Rekahan



Kondisi Airtanah

Orientasi Rakahan

36 MPa


85,75 %


150 mm

Menerus, agak kasar, renggang, < 1 mm dan lapuk

Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum
N 289o E/20o

4


17


8

25



7

-2
Pembobotan Total                                                                                       59   

Dari pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi  sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o (Tabel 7.10).





Zona II
Zona  II dengan panjang drift 11 m dan mempunyai batuan andesit akan dilakukan pembobotan  berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.14)

Tabel 7.14. Pembobotan Data-Data Zona II
NO
URAIAN
ZONA II
PEMBOBOTAN
SISTEM RMR

1.


2.


3.

4.



5.

6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS)

Kualitas Inti Batuan (RQD)

Spasi Rekahan

Kondisi Rekahan



Kondisi Airtanah

Orientasi Rakahan

72 MPa


92,2 %


400 mm

Sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang dan tidak lapuk

Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum
N 335o E/25o

7


20


10

30



7

-2
Pembobotan Total                                                                                       72  

Dari pembobotan total 70 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas II dengan Batuan Baik (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya   adalah ; stand-up time rata-rata 1 Tahun untuk span 10 m, kohesi  sebesar 300 – 400 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 35o – 45o (Tabel 7.10).





Zona III
Zona  III dengan panjang drift 39 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan  berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.15)

Tabel 7.15. Pembobotan Data-Data Zona III
NO
URAIAN
ZONA III
PEMBOBOTAN
SISTEM RMR

1.


2.


3.

4.



5.

6.

Kuat Tekan batuan utuh (UCS)

Kualitas Inti Batuan (RQD)

Spasi Rekahan

Kondisi Rekahan



Kondisi Airtanah

Orientasi Rakahan

36 MPa


67,7 %


300 mm

Agak kasar, renggang
< 1 mm dan lapuk


Basah

Relatif tegak lurus drift dengan arah umum N346oE/22o


4


13


10

25



7

-2
Pembobotan Total                                                                                       57   

Dari pembobotan total 57 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel 6.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi  sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o (Tabel 7.10).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar