7. METODA
EMPIRIK DALAM
RANCANGAN
TEROWONGAN
Metoda empirik dalam rancangan terowongan dilakukan
dengan pendekatan klasifikasi massa
batuan. Hal ini telah dipakai dibeberapa kasus terowongan seperti di Terowongan
PLTA Cirata Jawa Barat, Terowongan PLTA
Singkarak Sumatera Barat dan Terowongan PLTA di Renun Sidikalang Sumatera
utara.
7.1. TUJUAN DAN MANFAAT KLASIFIKASI
MASSA BATUAN
Klasifikasi massa
batuan merupakan cikal bakal dari pendekatan metode empiris dan digunakan
secara luas di dalam rekayasa batuan. Klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai
pengganti untuk rancangan rekayasa. Tetapi harus digunakan digunakan
bersama-sama dengan metode analitik dan observasi untuk memformulasikan secara
menyeluruh rancangan lubang bukaan yang rasional, sesuai dengan tujuan
rancangan dan kondisi geologi lapangan.
Klasifikasi
massa batuan
bertujuan :
1.
Mengindentifikasi parameter yang
terpenting yang mempengaruhi perilaku massa
batuan.
2.
Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam group yang
mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa
batuan dengan berbagai kualitas.
3.
Memberikan dasar untuk pengertian
karakteristik dari tiap kelas massa
batuan.
4.
Menghubungkan pengalaman dari
kondisi massa
batuan di satu lokasi dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain.
5.
Mengambil data kuantitatif dan
pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design).
6.
Memberikan dasar umum untuk
komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka sistem klasifikasi harus :
1.
Sederhana, mudah diingat dan mudah
dimengerti.
2.
Setiap istilah jelas dan
terminologi yang digunakan dapat diterima secara luas oleh enjinir dan
geologis.
3.
Sifat-sifat massa batuan yang paling signifikansi diikut
sertakan.
4.
Berdasarkan parameter yang dapat
diukur dengan uji yang cepat, relevan serta murah di lapangan.
5.
Berdasarkan sistem rating yang
dapat memberikan bobot yang penting pada parameter klasifikasi.
6.
Dapat berfungsi untuk menyediakan
data-data kuantitatif untuk rancangan penyangga batuan.
Adapun manfaat atau keuntungan
yang diperoleh dari klasifikasi massa
batuan adalah :
1.
Meningkatkan kualitas dari
penyelidikan lapangan (site invertigation) dengan meminta data masukan yang
minimum sebagai parameter klasifikasi.
2.
Memberikan informasi kuantitatif
untuk tujuan rancangan terowongan.
3.
Penilaian rekayasa dapat lebih baik
dan komunikasi dapat lebih efektif pada suatu proyek.
7.2. SEJARAH DAN SISTEM-SISTEM KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Kebanyakan
lubang bukaan (terowongan) sekarang dibangun berdasarkan beberapa sistem
klasifikasi massa
batuan. Seperti yang banyak digunakan dan yang paling baik diketahui adalah
klasifikasi beban batuan Terzaghi. Klasifikasi ini sudah diperkenalkan lebih
dari 40 tahun yang lalu (Terzaghi, 1946).
Tahun
1970 klasifikasi Terzaghi dimodifikasi Deere dan kawan-kawan dan membuat
klasifikasi sistem baru. Sistem klasifikasi ini memperkenalkan teknologi
penyangga batuan yang diberi nama “rock bolt” dan “shorcrete”, yang digunakan
diberbagai proyek, seperti di terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng
dan Pondasi.
Saat
ini terdapat berbagai sistem klasifikasi massa
batuan dan aspek penerapannya, yaitu :
1.
Rock Load (Terzaghi, USA 1946),
untuk penerowongan dengan memperkirakan
beban batuan yang disangga dengan penyangga baja (sekarang dipakai hanya
sebagai topik bahasan teoritis saja).
2.
Stand-up time (Lauffer, Austria,
1958), untuk penerowongan. Klasifikasi
ini didasarkan hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah maju dalam seni
penerowongan dengan memperkenalkan “stand-up time” dari “active span”. Dimana
dapat ditentukan tipe dan jumlah penyangga di dalam terowongan secara relevan.
3.
New Austrian Tunneling Method
(NATM, Pacher dan kawan-kawan, Austria, 1964), untuk penerowongan. Metode NATM
merupakan pendekatan saintifik empirik, yang melibatkan pengalaman praktek yang
disebut “emperical dimesioning” (Rabcewicz, 1964). Ini merupakan dasar teoritis
yang melibatkan hubungan antara tegangan dan deformasi di sekeliling terowongan
(lebih dikenal dengan konsep ground-reaction). Pada awalnya ini merupakan dasar
teoritis yang diberikan oleh Fenne dan Kastner. Kemudian metode ini
dikembangkan dengan menggunakan instrumen in-situ dan pemantauan yang canggih
dan menginterpretasikan pengukuran secara saintifik.
4.
Rock Quality Designation (RQD,
Deere dan kawan-kawan, USA, 1967), untuk “core logging” dan penerowongan. RQD
adalah modifikasi dari persentase dari perolehan inti yang utuh dengan panjang
10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatrif yang telah digunakan secara
luas untuk mengidentifikasi daerah batuan dan kualitasnya, sehingga dapat
diputuskan untuk menambah pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.
5.
Rock Structure Rating (RSR, Wickman
dan kawan-kawan, USA, 1972), untuk penerowongan. Konsep RSR memandang dua
parameter umum dari faktor yang mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan yaitu
parameter geologi dan parameter konstruksi.
6.
Rock Massa Rating System
(RMR-System, Bieniawski, Afrika Selatan, 1973), untuk penerowongan, tambang,
lereng dan pondasi. RMR-System menggunakan enam parameter untuk menilai
kualitas massa
batuan yaitu kuat tekan batuan, RQD, jarak bidang diskontinuitas, kondisi
bidang diskontnuitas, kondisi air tanah dan orientasi bidang diskontnuitas.
7.
Q-System (Barton, Lien, Lunde,
Norway, 1974), untuk penerowongan dan ruang bawah tanah. Klasifikasi ini juga
menggunakan 6 parameter untuk penilaian numerik kualitas massa batuan, yaitu RQD, jumlah set kekar,
jumlah set “roughness”, derajat alternasi, aliran airtanah dan kondisi
tegangan.
8.
Rock Massa Index (Palmstrom,
Norway, 1995), untuk “rock engineering”, evaluasi penyangga, masukan dalam
mekanika batuan. Dalam system ini juga
memasukkan parameter kuat tekan uniaksial material batuan dan set kekar
(bidang diskontinuitas).
7.3. APLIKASI KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Hampir
semua sistem kalsifikasi massa
batuan oleh para penyusunnya ditujukan untuk dapat diterapkan dalam proyek
terowongan. Hal ini memang dapat dimengerti, karena suatu kajian kelayakan dan
rancangan terowongan dalam batuan memang memerlukan penyelidikan yang lama dan
mahal.
Banyak
studi kasus yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah maupun textbook membahas
mengenai aplikasi sistem klasifikasi massa
batuan pada banyak proyek terowongan di beberapa negara, seperti di India, Norwegia, Korea
dan Jepang.
Sistem
RMR diketahui banyak diterapkan diberbagai proyek terowongan dan bukan
terowongan (Pondasi, lereng dan tambang), tetapi yang paling banyak ialah
proyek terowongan.
Sementara
itu Hoek dan Brown (1980) mengusulkan suatu metode untuk estimasi kekuatan massa batuan menggunakan
Sistem RMR. Modifikasi Sistem RMR banyak
dilakukan, diantaranya oleh Unal (1983) untuk analisis stabilitas batuan atap
di tambang batubara bawah tanah. Lauffer (1988) merevisi diagram dengan
stand-up time khusus untuk penggalian dengan mesin bor terowongan (Tunnel Bor
Machine, TBM). Nicholson dan Bieniawski (1986) mengusulkan Sistem RMR untuk
menentukan hubungan konstitutif massa
batuan. Di tambang batubara bawah tanah, Sistem RMR dipakai untuk memperkirakan
kekuatan pilar batubara (Trueman dan kawan-kawan 1992).
Di
Indonesia sendiri sistem klasifikasi massa
batuan ini sebenarnya telah diterapkan sejak sekitar Tahun 1985 di proyek
terowongan PLTA Cirata. Sejak itu sistem klasifikasi massa batuan mulai banyak diterapkan di Indonesia.
Di
lapangan sistem klasifikasi massa
batuan mampu menjadi alat komunikasi yang efektif antara sesama pekerja proyek,
mulai dari tingkat drill master, blasting master, foreman dan supervisor.
Misalnya setiap perubahan jenis batuan berarti terjadi perubahan kelas dan arti
massa batuan.
Dengan mudah dapat dimengerti oleh pekerja bahwa jenis penyangga dan penguatan
mungkin ada perubahan. Blasting master juga akan segera mengerti bahwa setiap
perubahan kelas dan arti massa
batuan akan merubah pola pemboran, pola peledakan dan jumlah dan muatan bahan
peledak yang harus diisikan.
7.4. BEBERAPA PERSOALAN DALAM KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Dalam
penerapan sistem klasifikasi massa
batuan, ditemukan keterbatasan dan persoalan, antara lain yang berkaitan dengan
ketersediaan data geoteknik. Dari segi
keluaran, ada kritik bahwa klasifikasi massa
batuan tidak membahas fenomena tegangan di sekitar terowongan, dan tidak
diketahui perilaku rheologi massa
batuan yang sesungguhnya.
Persiapan
penerapan sistem klasifikasi massa
batuan telah dimulai sejak tahap penyelidikan geoteknik. Sayangnya dalam
beberapa implementasi proyek terowongan dan penggalian lereng, kerap kali
dijumpai persoalan klasik yang berkaitan dengan tidak tersedianya data struktur
geologi yang memadai. Keadaan ini akan mengakibatkan persoalan serius, karena kurangnya
data karakteristik massa
batuan. Padahal seperti diketahui bersama, karakteristik massa batuan adalah tahapan terpenting dalam
suatu rancangan rekayasa batuan, karena merupakan dasar utama perhitungan dalam
rancangan terowongan.
Maka
penentuan parameter masukan yang diperoleh pada tahap penyelidikan geoteknik
sudah seharusnya menjadi perhatian utama baik ahli geologi teknik,
geoteknik/geomekanika maupun perancang terowongan.
Persoalan
penyelidikan memang menyangkut banyak aspek
dan kepentingan, baik dari segi rekayasa ketersediaan sumberdaya manusia
yang terampil dan berpengalaman luas, kendala lapangan yang sulit, dan dana
yang tersedia.
Dilain
pihak persoalan yang sangat berarti adalah fenomena tegang terinduksi akibat
penggalian terowongan. Hal ini hanya dapat dikaji melalui permodelan numerik.
Kajian ini memang sangat penting untuk mengetahui kondisi tegangan dan perilaku
deformasi massa
batuan di sekitar terowongan.
Untuk
mengakomodir persoalan-persoalan di atas, seperti pengadaan data struktur
geologi dan induksi tegangan di sekitar terowongan, maka perlu dibahas dari
berbagai aspek teknik. Sehingga sistem klasifikasi massa batuan memang harus diterapkan secara
bersama-sama dengan metode rancangan analitik termasuk permodelan numerik dan
jika perlu dilakukan lagi dengan metode observasi.
7.5. KLASIFIKASI SSTEM-RMR
Untuk saat ini, sistem klasifikasi yang sering dipakai
dalam praktek ialah Rock Massa Rating System (RMR-System) yang diusulkan oleh
Bieniawski (Afrika Selatan, 1973, direvisi 1979).
Di Indonesia, Sistem RMR telah mulai diterapkan di proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Air Cirata (1985) dan proyek PLTA Tulis Banjarnegara, terutama
pada tahap penggalian “headrace tunnel.
Dan Tambang emas di Pongkor Jawa Barat.
7.5.1. PARAMETER - PARAMETER
SISTEM RMR
Sistem RMR menggunakan enam parameter yaitu :
1)
Kuat tekan Uniaksial Batuan
2)
Rock Quality Designatioan (RQD).
3)
Jarak bidang diskontinuitas
(Spacing of discontinuities).
4)
Kondisi bidang diskontinuitas
(Condition of discontinuities).
5)
Kondisi Aistanah (Groundwater
conditions).
6)
Orientation bidang diskontinuitas.
1). Kuat Tekan Uniaksial
Batuan
Kuat
tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan
pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin
tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder,
balok atau prisma dari satu arah (uniaksial) dengan luas perconto A dan panjang
perconto l. Pada pengujian ini gaya
(kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam hingga
batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan (Gambar.7.1).
Dengan perolehan data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (sc),
modulus elastistas (E) dan Poisson Ratio (u).
Jika
data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat
tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika kedua pengujian
tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “Standard Index Manual”
sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 7.1)
Gambar
7.1. Kurva Tegangan – Regangan Hasil Uji UCS
Tabel
7.1. Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
Kode
|
Diskripsi
|
Uji Lapangan
|
UCS
(MPa)
|
Index Point Load
(MPa)
|
0
|
Sangat lemah
|
Bisa ditekan dengan paku
|
0,25 – 1,0
|
-
|
1
|
Lemah
|
Hancur bila
dipukul dengan
Palu/dapat
digores dengan
pisau
|
5
– 25
|
-
|
2
|
Sedang
|
Tidak dapat
digores dengan
pisau
|
25
– 50
|
<1
|
3
|
Kuat
|
Dapat hancur
dengan
Memukul lebih
dari satu kali
|
50
– 100
|
2
– 4
|
5
|
Sangat
kuat
|
Dapat hancur
dengan
Memukul
berkali-kali
|
100
– 250
|
4
– 10
|
6
|
Sangat
kuat
sekali
|
Sulit pecah
dipukul dengan
palu
|
>250
|
>10
|
Kemudian
Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam batuan
dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 7.2.
Tabel 7.2. Klasifikasi Teknis Batuan Utuh (Deere, 1968).
Kekuatan Pemeraian
|
UCS (MPa)
|
Batuan
|
Sangat Lemah
|
1 - 25
|
Kalk, Batugaram
|
Lemah
|
25 - 50
|
Batubara, Batulanau, Sekis
|
Sedang
|
50 - 100
|
Batupasir, Sabak, Serpih
|
Kuat
|
100 - 200
|
Marmer, Granit, Genis
|
Sangat kuat
|
>200
|
Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt
|
2). Rock Quality Designation (RQD)
Rock
Quality Designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase perolehan core yang
lebih besar dari 10 cm dibagi panjang lubang bor (Gambar 7.2). Yang dapat
dituliskan sebagai berikut.
Panjang Core > 10 cm
RQD = x
100 %
Panjang total
core (lubang bor)
Untuk
menentukan RQD, International Society for Rock Mechanics (ISRM) merekomedasikan
ukuran inti paling kecil dengan berdiameter NX (diameter 54,7 mm) yang dibor
dengan alat bot tabung ganda (double tube corel barrels).
Hubungan antara indeks RQD
dan kualitas teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968).
Tabel 7.3. Hubungan Indeks
RQD dengan Kualitas Batuan
RQD (%)
|
Kualitas Batuan
|
< 25
25 – 50
50 – 75
75 – 90
90 – 100
|
Sangat
jelek (very poor)
Jelek (poor)
Sedang (Fair)
Baik (Good)
Sangat baik (execellent)
|
Gambar 7.2. Prosedur
Untuk Pengukur dan Perhitungan RQD (Deere, 1899)
3).
Jarak Bidang Diskontinuitas
Bidang
diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang lemah yang mungkin berupa
kekar, sesar, bidang perlapisan dan perlipatan atau bidang-bidang lainya yang
tidak menerus dalam massa
batuan.
Suatu
rekahan atau kekar yang paralel disebut set, dan set-set yang saling
berpotongan disebut “joint set system”. Kemudian jarak tegak lurus antara dua
kekar yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan
jarak bidang kekar (spacing of diskontinuities). Untuk dapat mempermudah
pengertian istilah-istilah tersebut dan cara pengukuran jarak diskontuitas
dapat dilihat pada gambar 6.3. yang menunjukkan idealisasi pengukuran jarak
kekar secara normal. Dimana jarak masing-masing kekar ditunjukkan dengan jarak
d12, d23, d34
dan seterusnya, yang diukur pada scan line AB.
Gambar
7.3.
(a)
Jarak Bidang Kekar dan
(b) Pengukuran Jarak Bidang
Kekar di Lapangan.
Sedangkan arah strike/dip kekar
yang dijumpai di lapangan tidak semudah
yang ditunjukkan oleh gambar 6.3(a), sehingga scan line AB tidak memungkin
untuk dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka dilakukan pengukuran
dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 7.3b),
kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
cos q = êcos(an-as)
cos bn
cos bs
+ sin bn sin bs
ê
Dimana
:
as = arah dip scan line
ad = arah dip kekar
bs = dip garis scan line
bd = dip kekar
bn = 90 - bd
ad £ 180o maka an = ad + 180
ad > 180o maka an = ad - 180
Panjang minimum “scan-line” untuk pengukuran jarak diskontinuitas
adalah sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan
ISRM (1981) panjang ”scan line” cukup sekitar 10 kali saja, tergantung kepada
tujuan pengukuran. Jarak diskontinuitas dan keterangannya menurut Attewell
(1993) dan Deere (1968) dapat dilihat pada Tabel 7.4. dan Tabel 7.5.
Jarak
bidang diskontinuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang
saling berpotongan membuat massa
batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah kekuatan batuan. Kondisi
ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser yang rendah maka blok
batuan tersebut dapat jatuh.
Tabel 7.4. Klasifikasi
Jarak kekar Menurut Attewell (1993).
Diskripsi
|
Struktur Bidang Diskontinuitas
|
Jarak (mm)
|
Sangat lebar
Lebar dan luas
Lebar sedang
Dekat
Sangat dekat
Sangat dekat sekali
|
Perlapisan sangat tebal
Perlapisan tebal
Perlapisan sedang
Perlapisan tipis
Perlapisan sangat tipis
Sangat berlapis
Perlaisan tipis (Batuan Metamorf & Beku)
Berfoliasi, belahan aliran perlapisan, dll
Perlapisan tipis (sedimen)
Sangat berfoliasi, belahan aliran
Perlapisan, dll (Batuan metamorf & Beku)
|
> 2000
600 – 2000
200 – 600
60 – 200
20 – 60
6 – 20
6 – 20
6 – 20
< 20
< 6
< 6
|
Tabel 7.5. Klasifikasi
Jarak kekar Menurut Deere (1968).
Diskripsi
|
Struktur Bidang Diskontinuitas
|
Jarak (mm)
|
Sangat lebar
Lebar
Cukup dekat
Dekat
Sangat rapat
|
Padat
Masif
Blooky/seamy
Terpecah
Hancur dan tersebar
|
> 3000
1000 – 3000
300 – 1000
50 – 300
< 50
|
4). Kondisi Bidang Diskontnuitas
Kondisi
bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness), regangan
(separation), pelapukan batuan samping
dan material pengisi.
Kekasaran (Roughness)
Kekasaran
merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang mengalami
pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling mengunci
dan menempel akan mempertinggi kuat geser.
Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan
kekar.
Panduan
untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981).
Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan
horizontal sama (Gambar 7.4)
Dengan
istilah diskripsi sebagai berikut.
-
Sangat kasar (very rough surfaces)
; terdapat banyak gelombang yang sangat berdekatan pada permukaan kekar.
-
Kasar (rough surfaces) ; terdapat
beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan permukaan kekar terasa sangat
abrasif.
-
Sedikit kasar (slightly rough
surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan dirasakan antara yang relatif
kasar dengan yang relatif halus.
-
Halus (smooth surfaces) ; permukaan
kekar terasa halus ketika disentuh.
-
Polesan (slickensided surfaces) ;
terlihat seperti dipoles (digosok).
Gambar 7.4. Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM,
1981)
Rengangan (Separation)
Separasi
adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari kekar yang terbuka
(Gambar 7.5). Kekar yang terisi oleh material lain (misalnya clay) dapat
digolongkan sebagai separasi, jika material pengisinya telah tercuci (hilang)
secara lokal. Seperasi dapat dikatakan kecil, jika kekasaran didnding kekar
cenderung menjadi terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan
terhadap kuat geser.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kuat geser kekar tegantung pada tingkat separasi, ada
tidaknya material pengisi, kekasaran permukaan kekar dan sifat material
pengisi.
Gambar 7.5. Ilustrasi Pengertian
Separasi
Pelapukan
Batuan Samping
Seringkali
massa batuan di
sisi bidang diskontinuitas mengalami pelapukan dan kadang teralterasi oleh
proses hidrotermal. Derajat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai
berikut.
-
Tidak lapuk (unweathered / fresh) ;
tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya tampak jelas,
walaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.
-
Sedikit terlapukkan (slightly weathered) ; pelapukan
terdapat pada kekar-kekar terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi
hanya sedikit saja, dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
-
Terlapukkan sedang (moderately
weathered) ; perubahan warna mencapai bagian yang lebih luas, batuan tidak
mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan penyemenan yang jelek).
-
Sangat terlapukkan (highly
weathered) ; pelapukan mencapai semua bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak
mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa sudah berubah warna, batuan mudah
pecah (digali hanya dengan palu geologi).
-
Terlapukkan sempurna (completely
weathered) ; massa
batuan secara keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta
dalam keadaan rapuh, hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah
seperti tanah (soil).
Material
Pengisi
Material
pengisi kekar antara lain kalsit, klorit, clay, lanau, kwarsa dan lain
sebagainya. Jika kekar terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan
tebal, jenis dan kemenerusannya. Material pengisi kekar sangat mempengaruhi
kekuatan massa
batuan, karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar bidang kekar.
5). Kondisi Airtanah
Dalam
pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran airtanah dalam
liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi
airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah
(wet), menetes (dripping) dan mengalir (flowing).
6). Orientasi Bidang
Diskontinuitas
Orientasi
bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat
dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut
yang dibentuk antara bidang horizobtal dengan bidang kekar searah dengan bidang
kemiringan.
Orientasi
bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan istilah
menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang menguntungkan dalam
terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah sumbu aksis
terowongan, sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu
aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.
7.5.2. PROSEDUR KLASIFIKASI
SISTEM RMR
Ada enam langkah dalam
menggunakan Sistem RMR :
1.
Menghitung bobot (rating) total
dalam tabel 7.6. Sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya, yakni dengan
menjumlahkan semua rating dari UCS, RQD, jarak diskontinuitas, kondisi
diskontinuitas dan kondisi airtanah.
2.
Menilai kedudukan sumbu terowongan
terhadap jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas seperti yang ditunjukkan
pada tabel 7.7.
3.
Setelah menentukan kedudukan sumbu
terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-bidang diskontinuitas, maka
ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 7.8. Langkah ini disebut juga sebagai
penyesuaian rating (rating adjustment).
4.
Menjumlahkan rating yang didapat
dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari langlah tiga, sehingga
diperoleh total rating sesudah pennyesuaian. Dari rating ini dapat diketahui
kelas massa
batuan berdasarkan tabel 7.9.
5.
Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diketahui
arti klas massa
batuan dengan memperoleh nilai stand-up time dari massa batuan tersebut dengan span tertentu
serta kohesi dan sudut geser dalam-nya seperti yang diperlihatkan oleh tabel 7.10.
6.
Berdasarkan klasifikasi Geomekanika
ini, Bieniawski memberikan petunjuk untuk penggalian dan penyangga terowongan
batuan dalam hubungan dengan sistem RMR (Tabel. 7.11). Petunjuk ini hanya
berlaku untuk terowongan dibatuan dengan lebar 10 m, berbentuk tapal kuda,
tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan
pemboran dan peledakan.
Tabel 7.6. Parameter Klasifikasi dan Pembobotan
Parameter
|
Selang Nilai
|
1
|
Kuat
Tekan
Batuan
Utuh
|
PLI (MPa)
|
> 10
|
4 - 10
|
2 – 4
|
1 - 2
|
Untuk nilai yang kecil di
pakai hasil UCS
|
UCS
(MPa)
|
> 250
|
100 – 200
|
50 – 100
|
25 – 50
|
5-25
|
1-5
|
<1
|
Pembobotan
|
15
|
12
|
7
|
4
|
2
|
1
|
0
|
2
|
RQD (%)
|
90 – 100
|
75 – 90
|
50 – 75
|
25 - 50
|
25
|
Pembobotan
|
20
|
17
|
13
|
8
|
3
|
3
|
Jarak Diskontinuitas
|
> 2 m
|
0,6 – 2 m
|
200 - 600 mm
|
60 – 200 mm
|
< 60 mm
|
Pembobotan
|
20
|
15
|
10
|
8
|
5
|
4
|
Kondisi
Diskontinuitas
|
Permukaan sangat kasar,
tidak menerus, tidak renggang, tidak lapuk
|
Agak kasar, separasi < 1 mm, agak lapuk
|
Agak kasar, separasi < 1 mm, sangat lapuk
|
Slikensided/gouge < 5
mm, atau separasi 1 – 5 mm, menerus
|
Gouge lunak > 5 mm, atau
separasi > 5 mm, menerus
|
Pembobotan
|
30
|
25
|
20
|
10
|
0
|
5
|
Airtanah
|
Aliran /
10 m panjang tunnel (L/min)
|
Tidak ada
|
< 10
|
10 – 25
|
25 – 125
|
> 125
|
Tekanan pori dibagi
tegangan utama
|
0
|
< 0,1
|
0,1 – 0,2
|
0,2 – 0,5
|
> 0,5
|
Keadaan Umum
|
Kering
|
Lembab
|
Basah
|
Menetes
|
Mengalir
|
Pembobotan
|
15
|
10
|
7
|
4
|
0
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel 7.7.
Efek Jurus/kemiringan Diskontinuitas di dalam Penerowongan
Arah
jurus tegak lurus sumbu terowongan
|
Arah
jurus
sejajar
sumbu
terowongan
|
Mengabaikan
Jurus
|
Maju Searah Kemeringan
|
Maju Melawan Kemiringan
|
Dip
45o – 90o
|
Dip
20o – 45o
|
Dip
45o – 90o
|
Dip
20o – 45o
|
Dip
45o – 90o
|
Dip
20o – 45o
|
Dip
0o – 20o
|
Sangat Mengun-tungkan
|
Mengun- tungkan
|
Sedang
|
Tidak Mengun- tungkan
|
Sangat tidak Mengun-tungkan
|
Sedang
|
Sedang
|
Tabel 7.8. Penyesuaian
Pembobotan Orientasi Bidang Diskontinuitas
Jurus dan Kemiringan
Orientasi Diskontinuitas
|
Sangat
Mengun-tugkan
|
Mengun-
tungkan
|
Sedang
|
Tidak
Mengun- tungkan
|
Sangat tidak
Menguntungkan
|
Pembobotan
|
Terowongan
|
0
|
-2
|
-5
|
-10
|
-12
|
Pondasi
|
0
|
-2
|
-7
|
-15
|
-25
|
Lereng
|
0
|
-5
|
-25
|
-50
|
-60
|
Tabel 7.9. Kelas Massa
Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total
Pembobotan
|
100 – 81
|
80 – 61
|
60 – 41
|
40 - 21
|
< 20
|
No.
Kelas
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Diskripsi
|
Sangat
baik
|
Baik
|
Sedang
|
Jelek
|
Sangat Jelek
|
Tabel 7.10. Arti Kelas Massa Batuan
No. Kelas
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Stand-up time
Rata-rata
|
20 Tahun untuk span 15 m
|
6 Bulan untuk span 8 m
|
1 Minggu untuk span
5 m
|
10 jam untuk span 2,5 m
|
30 Menit untuk span 1 m
|
Kohesi Massa Batuan (Kpa)
|
> 400
|
300 – 400
|
200 – 300
|
100 – 200
|
< 100
|
Sudut Geser Dalam Massa
Batuan (derajat)
|
> 45
|
35 – 45
|
25 – 35
|
15 – 25
|
< 15
|
Bieniawski
(1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up time)
denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi geomekanikan
seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Hubungan ini sangat penting sekali
diketahui pada saat penggalian terowongan.
Gambar 7.6. Hubungan Antara
Stand-up time dengan Span
Untuk Berbagai Kelas Massa Batuan
Tabel 7.11. Petunjuk Untuk
Penggalian dan Penyangga Terowongan Batuan
Dengan Klasifikasi Sistem
RMR
KELAS
MASSA
BATUAN
|
PENGGALIAN
|
PENYANGGAAN
|
ROCK BOLT (20 mm Dia, Fully
Grouted)
|
SHOTCRETE
|
STEEL SETS
|
Batuan Sangat Baik (Kelas
I)
RMR 81 - 100
|
Full Face, dengan
Kemajuan 3 m
|
Umumnya tanpa penyanggaan,
adakalanya pengukuran dilakukan untuk memakai “spot bolting”
|
Batuan Baik
(Kelas II)
RMR 61 - 80
|
Full Face, dengan kemajuan
1 – 1,5 m penyangga komplet 20 m dari face
|
Lokalisasi, bolts pada atap
sepanjang 3 m adakalanya dengan wire mesh
|
50 mm di atap
|
Tidak ada
|
Batuan Sedang
(Kelas III)
RMR 41 – 60
|
Top heading dan bench,
dengan kemajuan 1,5 – 3 m.
Penyanggan dimulai setelah
peledakan dan 10 m dari face.
|
Bolt Sistematis panjang 4 m
dengan spasi
1,5 – 2 m di atap dan di dinding. Pada atap dibuat
dengan wire mesh.
|
50 – 100 mm di atap dan 30
mm di dinding (sides).
|
Tidak ada
|
Bantuan jelek
(Kelas IV)
RMR 21 – 40
|
Top heading dan bench,
dengan kemajuan 1 – 1,5 di top heading. Lakukan penyanggaan setiap 10 m
penggalian dari face.
|
Bolt sistematis panjang 4 –
5 m dengan spasi
1 – 1,5 m di atap dan di
dinding dengan wire mesh.
|
100 – 150 mm di atap dan
100 mm di dinding (sides)
|
Ribs ringan – sedang dengan
spasi 1,5 m
|
Batuan Sangat Jelek
(Kelas V)
RMR < 20
|
Multiple drifts dengan
kemajuan 0,5 – 1,5 m di top heading. Buat penyangga setiap penggalian.
Shotcrete d segera dipasang
setelah peledakan.
|
Bolt sistematis panjang 5 –
6 m dengan spasi
1 – 1,5 m di atap dan di
dinding dengan wire mesh. Buat Bolt di lantai (invert)
|
150 – 200 mm di atap, 150
mm di dinding (sides), dan 50 mm pada face
|
Rib sedang – berat dengan
spasi 0,75 m dengan steel lagging dan forepoling.
|
6.5.3. KASUS
Unit
Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat akan mengkonstruksi drift
footwall 700 Ciurug. Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang
drift 90 m dengan geometri lubang bukaan
3 m x 3 m dengan data pada tabel berikut
ini.
Tabel 7.12. Data Massa
Batuan dan Kondisi Geologi Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang
Tbk. Bogor – Jawa Barat
NO
|
URAIAN
|
ZONA
I
|
ZONA
II
|
ZONA
III
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Panjang drift
Jenis batuan
Kuat Tekan batuan utuh (UCS)
Kualitas Inti Batuan (RQD)
Spasi Rekahan
Kondisi Rekahan
Kondisi Airtanah
Orientasi Rakahan
|
40 m
Tufa breksi
36 MPa
85,75 %
150 mm
Menerus, agak kasar, renggang, < 1 mm
dan lapuk
Basah
Relatif tegak lurus drift dengan arah
umum N 289o E/20o
|
11 m
Andesit
72 MPa
92,2 %
400 mm
Sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang
dan tidak lapuk
Basah
Relatif tegak lurus drift dengan arah
umum N 335o E/25o
|
39 m
Tufa breksi
36 MPa
67,7 %
300 mm
Agak kasar, renggang < 1 mm dan lapuk
Basah
Relatif tegak lurus drift dengan arah
umum N346oE/22o
|
Dari
Tabel 7.12 terlihat bahwa dilakukan pembagian zona di sepanjang 90 m drift.
Pembagian zona ini berdasarkan perubahan jenis batuan yakni zona I batuan tufa
breksi, zona II batuan andesit dan Zona III dijumpai kembali batuan tufa
breksi. Dari ketiga zona ini akan dilakukan pembagian kelas dan arti massa batuan. untuk
merekomendasikan penyanggaan. Dengan perubahan jenis batuan tersebut tentunya
akan berubah kelas dan arti massa
batuan. Maka rekomendasi penyanggaan yang dibutuhkan juga tidak akan sama
pada masing-masing zona. Sehingga dapat
memberikan kontribusi nilai ekonomis dengan tidak mengabaikan aspek stabilitas
terowongan. Untuk masing-masing zona akan di analisis sebagai berikut.
Zona I
Zona I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai
batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan
berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti
massa batuan
(Tabel 7.13)
Tabel 7.13.
Pembobotan Data-Data Zona I
NO
|
URAIAN
|
ZONA
I
|
PEMBOBOTAN
SISTEM
RMR
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Kuat
Tekan batuan utuh (UCS)
Kualitas
Inti Batuan (RQD)
Spasi
Rekahan
Kondisi
Rekahan
Kondisi
Airtanah
Orientasi
Rakahan
|
36
MPa
85,75
%
150
mm
Menerus,
agak kasar, renggang, < 1 mm dan lapuk
Basah
Relatif
tegak lurus drift dengan arah umum
N
289o E/20o
|
4
17
8
25
7
-2
|
Pembobotan
Total
59
|
Dari
pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan
Sedang (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time
rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi
sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o –
35o (Tabel 7.10).
Zona II
Zona II dengan panjang drift 11 m dan mempunyai
batuan andesit akan dilakukan pembobotan
berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti
massa batuan
(Tabel 7.14)
Tabel 7.14.
Pembobotan Data-Data Zona II
NO
|
URAIAN
|
ZONA
II
|
PEMBOBOTAN
SISTEM
RMR
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Kuat
Tekan batuan utuh (UCS)
Kualitas
Inti Batuan (RQD)
Spasi
Rekahan
Kondisi
Rekahan
Kondisi
Airtanah
Orientasi
Rakahan
|
72
MPa
92,2
%
400
mm
Sangat
kasar, tidak menerus, tidak renggang dan tidak lapuk
Basah
Relatif
tegak lurus drift dengan arah umum
N
335o E/25o
|
7
20
10
30
7
-2
|
Pembobotan
Total
72
|
Dari
pembobotan total 70 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas II dengan Batuan
Baik (lihat Tabel 7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Tahun
untuk span 10 m, kohesi sebesar 300 –
400 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 35o – 45o (Tabel
7.10).
Zona III
Zona III dengan panjang drift 39 m dan mempunyai
batuan tufa breksi akan dilakukan pembobotan
berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan arti
massa batuan
(Tabel 7.15)
Tabel 7.15.
Pembobotan Data-Data Zona III
NO
|
URAIAN
|
ZONA
III
|
PEMBOBOTAN
SISTEM
RMR
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Kuat
Tekan batuan utuh (UCS)
Kualitas
Inti Batuan (RQD)
Spasi
Rekahan
Kondisi
Rekahan
Kondisi
Airtanah
Orientasi
Rakahan
|
36
MPa
67,7
%
300
mm
Agak
kasar, renggang
<
1 mm dan lapuk
Basah
Relatif
tegak lurus drift dengan arah umum N346oE/22o
|
4
13
10
25
7
-2
|
Pembobotan
Total 57
|
Dari
pembobotan total 57 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan
Sedang (lihat Tabel 6.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time
rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi
sebesar 200 – 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o –
35o (Tabel 7.10).
Belum ada tanggapan untuk "METODA EMPIRIK DALAM RANCANGAN TEROWONGAN"
Posting Komentar